Rabu, 30 Desember 2009

cara pegang pahat

cara pegang pahat
GAJAH SUNGGING CARVING tentang ukir JEPARA

I. PENGANTAR

A. Nama Indikasi Geografis
Nama indikasi geografis yang dimohonkan pendaftarannya adalah Mebel Ukir Jepara

B. Nama Barang dan Jenisnya
Nama barang yang dilindungi oleh Indikasi-geografis adalah Mebel Ukir Jepara . Mebel ukir memiliki beragam jenis produk, antara lain almari, kursi, meja, buffet, tempat tidur, dan lain-lain yang terbuat dari kayu yang di hiasi oleh ornamen-ornamen ukir.

C. Karakteristik dan Kualitas Barang
Karakteristik dan kualitas barang mebel ukir Jepara pada dasarnya dapat dilihat dari daya ornamen hiasan mebel ukir Jepara dan keahlian/ tradisi khusus masyarakat Jepara yang mampu menghasilkan ukiran dengan karakteristik sebagai berikut :Konsep kecekungan permukaan ini tidak dapat dilepaskan dari konsep pengolahan motifnya, terutama berkaitan dengan nuansa perbedaan bentuk yang naturalistis dengan bentuk yang distilisasikan yang seperti umunya terdapat pada gaya ukiran Jepara.
Perkembangan dalam gaya ukiran Jepara warna lebih banyak menggunakan warna alami (warna kayu) mengingat daerah pesisir lebih bersifat open dan tidak terikat oleh wilayah keraton sebagai pusat pengendali karena jaraknya yang relatif jauh, sehingga simbolisasi warna dalam kejawen tidak begitu nampak atau menonjol. Namun dalam perkembangan masa kini, warna lebih banyak dimanfaatkan untuk unsur dekoratifnya, selain untuk menghadirkan kesan warna barang yang sudah berumur lama, seperti warna biru hijau, merah, kuning emas, atau warna gelap agak kusam.

3. Artefak-Artefak dan Contoh Sebuah Gaya Ukiran Jepara
a. Beberapa Motif Jalinan Tali yang Diterapkan pada Barang, Pintu dan Dinding Bangunan (Gambar 1)





Motif jalinan tali pada tutup sebuah cerana perak, Palembang, cerana ini kemungkinan dibuat oleh perajin perak orang Jawa. Motif jalinan tali memiliki arti kesaktian dan perlambangan, terutama berhubungan dengan percintaan dan perkawinan (Hoop, 1949: 313).
Motif jalinan tali, pada ukiran di Masjid Mantingan Jepara merupakan stilasi dari raut bentuk tangkai daun yang disusun saling menjalin dan tampak ngruwit seperti motif Arabes. Nampak berbeda dengan motif jalinan tali, pada ukiran daun pintu serambi Masjid Demak yang lebih sederhana.



b. Beberapa Motif Jalinan Tali yang Diterapkan pada Barang, Pintu dan Dinding Bangunan (Gambar 2)






Motif gunung, pohon, dan awan pada kotak jamu yang dibuat di Cirebon memperlihatkan keserupaan dengan gaya ukir masa Hindu–Jawa (Hoop, 1949: 283). Sebagian dari motif ukiran di Masjid Mantingan memperlihatkan komposisi dari motif gunung, pohon, dan awan, yang memiliki keserupaan dengan komposisi pada kotak jamu-jamu di Cirebon.
Sedangkan pada bagian lain, Ismunandar (1986: 87) menjelaskan bahwa hiasan motif gunungan atau kakayon, yang dibuat dengan bahan seng atau tembikar untuk bumbungan rumah bagi masyarakat Jawa melambangkan ketentraman lahir dan batin. Sedangkan pada perkembangannya kayon yang dipasang pada rumah Jawa di pesisir dibuat dari bahan tembikar dengan warna tembikar. Stilasi rautnya menunjukan pengaruh dari CinaKonsep kecekungan permukaan ini tidak dapat dilepaskan dari konsep pengolahan motifnya, terutama berkaitan dengan nuansa perbedaan bentuk yang naturalistis dengan bentuk yang distilisasikan yang seperti umunya terdapat pada gaya ukiran Jepara.
Perkembangan dalam gaya ukiran Jepara warna lebih banyak menggunakan warna alami (warna kayu) mengingat daerah pesisir lebih bersifat open dan tidak terikat oleh wilayah keraton sebagai pusat pengendali karena jaraknya yang relatif jauh, sehingga simbolisasi warna dalam kejawen tidak begitu nampak atau menonjol. Namun dalam perkembangan masa kini, warna lebih banyak dimanfaatkan untuk unsur dekoratifnya, selain untuk menghadirkan kesan warna barang yang sudah berumur lama, seperti warna biru hijau, merah, kuning emas, atau warna gelap agak kusam.

3. Artefak-Artefak dan Contoh Sebuah Gaya Ukiran Jepara
a. Beberapa Motif Jalinan Tali yang Diterapkan pada Barang, Pintu dan Dinding Bangunan (Gambar 1)





Motif jalinan tali pada tutup sebuah cerana perak, Palembang, cerana ini kemungkinan dibuat oleh perajin perak orang Jawa. Motif jalinan tali memiliki arti kesaktian dan perlambangan, terutama berhubungan dengan percintaan dan perkawinan (Hoop, 1949: 313).
Motif jalinan tali, pada ukiran di Masjid Mantingan Jepara merupakan stilasi dari raut bentuk tangkai daun yang disusun saling menjalin dan tampak ngruwit seperti motif Arabes. Nampak berbeda dengan motif jalinan tali, pada ukiran daun pintu serambi Masjid Demak yang lebih sederhana.



b. Beberapa Motif Jalinan Tali yang Diterapkan pada Barang, Pintu dan Dinding Bangunan (Gambar 2)






Motif gunung, pohon, dan awan pada kotak jamu yang dibuat di Cirebon memperlihatkan keserupaan dengan gaya ukir masa Hindu–Jawa (Hoop, 1949: 283). Sebagian dari motif ukiran di Masjid Mantingan memperlihatkan komposisi dari motif gunung, pohon, dan awan, yang memiliki keserupaan dengan komposisi pada kotak jamu-jamu di Cirebon.
Sedangkan pada bagian lain, Ismunandar (1986: 87) menjelaskan bahwa hiasan motif gunungan atau kakayon, yang dibuat dengan bahan seng atau tembikar untuk bumbungan rumah bagi masyarakat Jawa melambangkan ketentraman lahir dan batin. Sedangkan pada perkembangannya kayon yang dipasang pada rumah Jawa di pesisir dibuat dari bahan tembikar dengan warna tembikar. Stilasi rautnya menunjukan pengaruh dari Cina.c. Ukiran di Masjid Mantingan
Sketsa Motif-Motif Tumbuhan (Daun) dan Kecekungan Permukaan Ukiran
(Gambar 3)


Berdasarkan raut dan pola ukiran Masjid Mantingan dapat diperoleh bahwa ukiran lebih banyak bersumber pada tumbuhan (flora) dengan penggayaan yang sederhana dan mempunyai pola kecekungan yang tidak terlalu dalam.
d. Dinding Candi Panataran dan Wayang kulit di Jawa Tengah (Gambar 4)

Wayang batu (relief) pada Candi Panataran ± 1268 m, reliefnya merupakan pahatan mendatar, mirip anoman (Ramayana) wayang kulit purwa Bali, tetapi berbeda dengan Anoman Jawa Tengah (Mulyono, 1982: 79). Bila kita melihat motif ukiran kera di dinding Masjid Mantingan maka bentuk kera disamarkan sehingga tidak nampak jelas. Berbeda dengan relief di Candi Penataran yang masih nampak kuat bentuknya.

e. Gaya Ukiran Jepara–Motif Dasar Lunglungan Bunga (Gambar 5)


Motif dasar lunglungan bunga merupakan ciri gaya ukiran Jepara, dengan memiliki pola, arah dan gerak garis-garis pokok motif ukiran. Pola garis dalam ukiran mempunyai kecenderungan dinamik dan menuju pada keseimbangan yang simetris. Mempunyai garis-garis sebagai pola utama dan garis-garis penunjang.
f. Dasar- dasar motif Ukiran Pesisir Jawa (Gambar 6)Ukiran di Masjid Mantingan Motif Kera di Masjid Mantingan, Anoman padaDalam ukiran terdapat bagian-bagian yang mempunyai nama khusus, yaitu:
1. Pokok : dasar motif
2. Angkup: raut bentuk ukir berupa ujung daun yang menelungkup pada sehelai daun pokok. Terdapat angkup besar, sedang dan kecil.
3. Endong: sehelai daun yang selalu digendong oleh daun-daun pokok (daun yang besar) atau suatu trubusan yang selalu tumbuh di belakang daun pokok
4. Simbar: sehelai daun tambahan yang tumbuh pada daun besar di bagian bawah berdampingan dengan tangkai angkup.
5. Trubusan: sehelai daun tumbuhan yang tumbuh di bagian ujung atau atas daun pokok.
6. Pecahan: garis-garis penghias daun, diseleraskan sengan motif ukiranya
7. Benangan: suatu garis (gagang) seperti benang pada bagian muka ulir atau daun melingkar menuju ulir, atau hiasan yang berwujud seperti benang di bagian sehelai daun
8. Culo: motif Pajajaran, besar maupun kecil memiliki Culo, berpenampang cembung.
9. Jambul: daun yang terletak di muka bagian atas ulir pada penghabisan ulir angkup yang tnggung
10. Sunggar: sehelai daun tambahan yang tumbuh pada daun pokok, yang berdampingan dengan tangkai angkup
11. Buah: berbentuk bulatan-bulatan kecil bersusun seperti buah wuni
Apabila kita mencermati pola ukiran daerah Pesisiran mempunyai kecenderungan pola garis yang agak terbuka dan cenderung dinamis. Bentuk motif ukirannya tidak terlau lebar tetapi tersusun dari dedaunan yang garis-garisnya lebih ramping. Jika dikomparasikan dengan jiwa daerah Pesisiran yang terbuka maka akan tampak selaras dan sesuai dengan jiwa masyarakatnya.
g. Dasar-dasar Motif Ukiran Pedalaman Jawa dan Bali (Gambar 7)

Pola ukiran gaya Pedalaman mempunyai pola ukiran yang cenderung mempunayi daun–daun yang lebar dan pola garis tidak terlalu dinamis seperti apa yang ada dalam gaya Pesisiran. Namun banyak terdapat hiasan-hiasan yang memenuhi daun pokok. Hal ini tampak selaras dengan jiwa masyarakat pedalaman sebagai pusat keraton yang tidak mudah menerima pengaruh dari luar karena sistem masyarakatnya masih mendapat pengaruh kuat dari tatanan keraton dan jarang mendapat pengaruh atau kontak dengan dunia luar. Berbeda dengan gaya pesisiran yang lebih mudah menyerap pengaruh dari luar.
h. Gaya Ukiran Jepara–Pola Penyelesaian Bidang Ukiran dan Bidang dasar Ukiran (Lemahan) (Gambar 8)Dari gambar tersebut memberikan penjelasan bahwa ukiran Jepara motifnya dibuat cekung serta permukaanya yang tipis terhadap lemahan. Jarang yang dilakukan dengan teknik cembung seperti apa yang terdapat gaya Majapahit.
Di bagian lain, ukiran Jepara yang bermotif tembus atau kerawangan, maka dalam proses pembuatannya permukaan ukiran dengan bidang sebaliknya dihubungkan oleh bidang tegak lurus.
i. Gaya Ukiran Jepara- Motif Ukiran
Pada Meja Tempat Kain Jahitan Kartini (Gambar 9)










Pada meja tempat kain jahitan Kartini terdapat motif lunglungan bunga dan motif burung pada tutup meja tempat kain jahitan, musium Kartini, Jepara. Motif ukiran serupa pada bagian samping dari meja tempat jahitan Kartini. Pada bagian kaki dari meja tersebut juga terdapat raut bentuk kaki meja, dengan ukiran melilit ke seluruh bagian kaki meja.







j. Gaya Ukiran Jepara–Ukiran di Atas Kusen Pintu Rumah Tinggal
(Gambar 10)

Ukiran yang difungsikan sebagai ventilasi atau saluran udara dalam sebuah rumah menunjukan bahwa ukiran tersebut dibuat dengan menggabungkan pola tumbuhan dan burung dengan cara stilasi serta mempunyai pola ukiran yang cekung dan tipis-tipis. (terdapat pada rumah tinggal milik keluarga bapak Zainal)
k. Gaya Ukiran Jepara–Penggunaan Beberapa Motif Ukiran Untuk Ventilasi Rumah (Gambar 11)
Dari gambar tersebut memberikan penjelasan bahwa ukiran Jepara motifnya dibuat cekung serta permukaanya yang tipis terhadap lemahan. Jarang yang dilakukan dengan teknik cembung seperti apa yang terdapat gaya Majapahit. Di bagian lain, ukiran Jepara yang bermotif tembus atau kerawangan, maka dalam proses pembuatannya permukaan ukiran dengan bidang sebaliknya dihubungkan oleh bidang tegak lurus. i. Gaya Ukiran Jepara- Motif Ukiran Pada Meja Tempat Kain Jahitan Kartini (Gambar 9) Pada meja tempat kain jahitan Kartini terdapat motif lunglungan bunga dan motif burung pada tutup meja tempat kain jahitan, musium Kartini, Jepara. Motif ukiran serupa pada bagian samping dari meja tempat jahitan Kartini. Pada bagian kaki dari meja tersebut juga terdapat raut bentuk kaki meja, dengan ukiran melilit ke seluruh bagian kaki meja. j. Gaya Ukiran Jepara–Ukiran di Atas Kusen Pintu Rumah Tinggal (Gambar 10) Ukiran yang difungsikan sebagai ventilasi atau saluran udara dalam sebuah rumah menunjukan bahwa ukiran tersebut dibuat dengan menggabungkan pola tumbuhan dan burung dengan cara stilasi serta mempunyai pola ukiran yang cekung dan tipis-tipis. (terdapat pada rumah tinggal milik keluarga bapak Zainal) k. Gaya Ukiran Jepara–Penggunaan Beberapa Motif Ukiran Untuk Ventilasi Rumah (Gambar 11)


ukir-patung-jepara mengatakan...
Motif ukiran pada ventilasi di atas kosen pintu masjid Jepara ini memperlihatkan pola komposisi yang serupa dengan motif relief batu yang ada pada dinding Candi Loro Jonggrang, Jawa Tengah (abad x), yaitu tangkai daun yang keluar dari jambangan. Serupa dengan moitif di atasnya, dari bentuk ventilasi ini juga dapat dilihat motifmotif masa lalu (Budha, Hindu-Jawa) yang diterapkan untuk menambah keindahan uatu fungsi barang. Pada rumah tradisional Jawa, motif panah juga dipergunakan untuk membuat suatu komposisi ukiran yang berfungsi sebagai ventilasi. Umumnya raut bentuk panah terdiri dari beberapa buah anak panah, yang mengarah pada satu titik. Hiasan ukiran ini dimaksudkan untuk menolak segala macam kejahatan,dan penghuni dapat merasakan ketentraman, keamanan dan kedamaian lahir dan batin (Ismunandar, 1986: 77) l. Gaya Ukiran Jepara–Ukiran-Ukiran Hiasan di atas Lemari dan Meja Rias (Gambar 12) Ukiran-ukiran hiasan di atas meja dan almari menunjukan bahwa kecekungan dari sebuah uliran menunjukan tidak terlalu tajam dan mempunyai pola ukiran yang mengutamakan garis-garis lengkung. m. Gaya Ukiran Jepara–Beberapa Pola Arah dan Gerak dari Motif Tangkai dan pola Pengisian Bidangnya (Gambar 13) Motif ukiran Jepara menunjukan pola pengisian bidang diantara tangkai daun menunjukan pola yang menyebar dan memenuhi bidang secara keseluruhan dengan arah garis benangan yang menyebar ke segala penjuru. Pola pengisian bidang diantara tangkai daun menunjukan adanya arah atau gerak yang sama dengan arah kelengkungan garis utama dengan tetap mengupayakan bidang terisi penuh. n. Gaya Ukiran Jepara– Beberapa Pola Arah dan Gerak dari Motif Tangkai dan pola Pengisian Bidangnya (Gambar 14)


ukir-patung-jepara mengatakan...
Perubahan kecekungan bermula dari pembuatan bidang secara menonjol kemudian dicekung sesuai dengan tingkat kedalaman yang rendah. Dari proses tersebut akan menghasilkan penampilan atau ceruk ukiran yang menghadirkan nilai estetika yang berbeda dengan lainnya. Dari hal tersebut akan berpeluang dari gaya stilasi yang sederhana ke raut yang lebih naturalis (seperti gaya ukiran di Eropa) Atas dasar tersebut, maka dimungkinkan adanya perpaduan dari unsur-unsur gaya tersebut yang membentuk gaya ukiran Jepara baru sehingga dimungkinkan menjadi lebih naturalis dikarenakan karena ukiran Jepara memang dimungkinkan untuk dirubah ke bentuk yang lebih naturalis. p. Gaya Ukiran Jepara Raut Penggambaran secara Stilasi dan naturalis dari Motif Tumbuhan (Demak, Jepara, dan Eropa) (Gambar 16) Gambar di atas menunjukan perkembangan stilasi dari raut bentuk daun dan bunga Stilasi dari motif tangkai, daun dan bunga, dimulai pintu serambi Masjid Demak, kemudian Jepara dan Eropa. Berbeda dengan stilasi Jepara, demak stilasinya masih dikenali obyeknya ada kesan natural sedangkan dalam tangkai buah, dan daun dalam gaya Eropa sangat naturalis q. Gaya Ukiran Jepara dan Ukiran Bali (Gambar 17) Apabila kita bandingkan akan nampak bahwa gaya ukiran Jepara memperlihatkan adanya unsur gaya ukir Eropa, yang terlihat pada pembentukan gerak dan ukiran bebas, tetapi stilasi raut bentuk motif daunnya memperlihatkan gaya yang selalu muncul pada gaya ukiran Jepara. Berbeda dengan jenis Patra Olanda, Patra atau gubahan-gubahan keindahan hiasan dalam patern di atas memperlihatkan adanya unsur gaya Eropa. Penggambaran raut bentuk motifnya tampak lebih naturalistik, yang merupakan stilasi dari raut bentuk dahan dan daun anggur. Pada jenis Patra Wangga, Bali, kembang mekar atau kuncup dengan batang-batang bersulur di sela-sela bunga dan daun dari jenis bunga berdaun lebar dengan garis-garis batang yang melengkung. Polanya diambil dari raut bentuk bunga terung (Gelebet, 1982: 33). r. Gaya Ukiran Jepara dan Ukiran Madura (Gambar 18)


ukir-patung-jepara mengatakan...
Ukiran untuk hiasan di atas pintu ini memperlihatkan gaya ukiran Madura-pesisir (Hoop, 1949: 241). Motif daun yang tampak kaku dengan permukaan ukiran yang cekung tipis ini merupakan hasil stilasi dari raut bentuk daun dan membentuk daya tarik tersendiri. Secara visual, gaya ukiran di atas dibandingkan dengan gaya ukiran Jepara tampak memiliki keserupaan-keserupaan, terutama pada kecekungan permukaan yang tipis, dan adanya stilasi terhadap motif tumbuhan (daun) yang digunakan. Dibandingkan dengan motif Jepara, terdapat perbedaan pada kelenturan gerak dan stilasi daun, serta pola raut bentuk motif yang distilasikan. Jepara menampilkan raut bentuk daun bercabang tiga secara konsisten, gerak tangkai daun yang lebih lembut dan patokan-patokan pada benangan yang memberi kesan garis-garis cahaya. Perbedaaan ini dilatarbelakangi oleh masyarakatnya dan proses transformasi budaya yang terjadi sebelumnya, yang memberi pengaruh pada pembentukan gaya ukiranya. s. Gaya Sulur Jepara dan Sulur Bali (Gambar 19) Gambar di atas menunjukan perbedaan raut ukiran suluran Jepara dengan Bali. motif sulur Jepara, pada bagian samping mesin jahit Kartini (musium Kartini, Jepara) menunjukan gaya kelengkungan yang lebih dinamis, lincah dengan suluran yang lebih kecil batangnya. Berbeda dengan Bali, yang menampilkan suluran yang terasa padat dan kaku, dengan lebih sedikit menampilkan garis-garis pada daunnya. t. Gaya Ukiran Jepara, Pajajaran, Majapahit dan Bali (Gambar 20) Jika dibandingkan ke empat gaya ukiran ini memiliki keserupaan-keserupaan dan perbedaan-perbedaan sebagai berikut: (1) Gaya ukiran Jepara, tidak memiliki angkup, sedangkan Pajajaran, Majapahit dan Bali masing-masing memiliki angkup (2) Angkup gaya ukiran Pajajaran serupa dengan Bali, terutama pada permukaan angkup yang cembung, sedangkan gaya Majapahit memiliki permukaan yang cembung dan cekung (3) Gaya ukiran Bali memiliki sunggar yang tidak dimiliki oleh Jepara, Pajajaran ataupun Majapahit. u. Motif Sulur Masa Hindu-Jawa, Sulur Gaya Eropa dan Jepara (Gambar 21) Pada ketiga jenis sulur diatas memperlihatkan adanya perbedaan antara sulur gaya Hindu Budha, Eropa dan Jepara. Pada suluran di Candi Kalasan, Yogyakarta, (Hoop: 1949: 273) agak lebih realis dan padat, tidak ada bidang dasaran yang tersisa, meskipun sudah ada stilasi tetapi sangat sedikit. Motif suluran di Eropa corak naturalis, sedangkan gaya sulur Jepara distilasi dengan sangat elastis, simple dan dinamik. v. Gaya Ukiran Eropa pada Perabotan (Gambar 22)


ukir-patung-jepara mengatakan...
Bingkai kayu dengan hiasan ukiran abad ke 18, Italy (Wilson dalam koswara, 1995: 506), Console Table abad ke 18 dan Arm Chair, Jerman, abad ke 18 (Wilson, 1955: 522) (Koswara, 1996: 186) dan kedua buah meja Italy abad 17 menunjukan pola ukiran yang memperlihatkan penggambaran motif daun (bunga) yang sangat naturalistis, seperti umunya gaya ukiran Eropa. Arah dan gerak motif sangat bebas, dengan kecekungan permukaan ukiran yang sangat dalam. Hal ini sangat berbeda dengan gaya ukiran Jepara yang umumnya memiliki permukaan ukiran yang tipis, dengan motif-motif tumbuhan (bunga) yang telah distilasikan raut bentuknya. (gambar 1 a) Botekan , Musium Kartini, Jepara (gambar 2 a) (gambar 2b) Sebuah ukiran di Masjid Mantingan, Jepara yang bentuknya hewan dan flora sangat disamarkan (gambar 3 a) Sebuah ukiran di Masjid Mantingan, sebagai hiasan dinding dengan motif tumbuh-tumbuhan dengan cara disamarkan 3. Bahan Baku dan Hasil Produksi Letak perbedaan yang cukup mencolok antara gaya seni ukir kayu dengan ukir di bahan yang lain –batu, keramik, tanah liat, marmer- tentu saja adalah di bahan baku mebel ukir kayu yang berasal dari Kayu. Kebanyakan jenis kayu yang di pakai adalah kayu Jati, Mahoni dan jenis kayu lain. Jenis produknya adalah almari, kursi, meja, buffet, dan perabotan rumah tangga lain yang terbuat dari kayu. Contoh produk seni kerajinan mebel ukir Jepara yang teraplikasi dalam perabot: Almari Pajangan Tempat Tidur Cempaka Meja dan Kursi Kartini D. Pengaruh Faktor Manusia dan Faktor Alam Uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh
terhadap kualitas atau karakteristik dari mebel ukir Jepara akan di uraikan di bawah ini. A. Keterpengaruhan Barang dari Faktor Manusia Faktor manusia lebih dominan memberikan pengaruh pada kualitas dan karakteristik produk seni kerajinan meubel ukir Jepara. Masyarakat kalangan pengrajin seni kerajinan meubel ukir Jepara memiliki talenta dan bakat alami. Masyarakat Jepara mendapatkan bakat tersebut karena mengalir darah seni dari nenek moyangnya. Sehingga konon sangat sulit bagi orang-orang yang berasal dari luar Jepara untuk belajar keterampilan mengukir seperti masyarakat kalangan pengrajin Jepara. Proses tranformasi keahlian mengukir di turunkan melalui “nyantrik”, yaitu seorang murid yang mau belajar ukir harus mengabdi pada seniornya- bisa saudara, tetangga atau guru—dengan cara membantu dan mengabdi. Di mulai dengan membantu menyiapkan segala keperluan kerja, berupa alat pahat, palu, meja dan lainnya. Selanjutnya di lanutkan dengan tahapan awal mengenal alat, memegang dan menggunakan. Proses nyantrik ini berlangsung bertahun-tahun hingga si murid di pandang hasil ukirannya sudah layak untuk di jual di pasaran. Proses pembelajaran dengan cara nyantrik ini berjalan dari zaman ke zaman. Kepiawaian masyarakat Jepara ini dapat di lihat dari raga bentuk ukiran motif tradisional Jepara yang berbentuk tanpa dasar (tembus) atau sering disebut ukiran kerawangan atau ukiran dasar tembus. Ukir relief ukir adalah salah satu contoh. Ukiran kerawangan atau relief merupakan salah satu bentuk ukiran yang cukup sulit di buat, karena bentuknya yang kecil dan proses pembuatannya yang perlu ketelitian, karena salah sedikit berakibat rusak atau patahnya ukiran yang di pahat dari barang tersebut. Tingkat kesulitan pembuatan ukiran ini tentunya di buat oleh manusia yang cukup terampil dalam mengukir kayu. Masyarakat Jepara telah mengenal dan menjadi bagian dari hidupnya untuk mengukir dengan tingkat kesulitan apapun itu. Perajin mebel ukir Jepara bekerja dengan semboyan yang sangat mantap, bahwa ”hidup atau mati” dan ”maju atau mundur” bersama-sama kayu. Semboyan itu mencerminkan kesungguhan dan lekatnya sikap profesional para pengrajin dalam menekuni profesi mereka, sehingga menghasilkan karya-karya yang berkualitas tinggi. B. Keterpengaruhan Barang dari Faktor
Alam Mebel ukir Jepara di buat dari bahan kayu Jati, Mahoni, sono keling dan kayu lainnyai yang di nilai memiliki tingkat kualitas dan jenis yang cocok untuk menghasilkan produk kerajinan tangan mebel ukir Jepara. Kayu Jati adalah diantara bahan baku kayu yang paling baik, jenis Kayu Jati ini masih mendominasi dan menjadi idola diantara kayu lainnya. Jati (tectona grandis) dapat tumbuh subur di seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Maluku dan Lampung. Pohon jati dapat mencapai tinggi 45 M dengan panjang batang bebas 15-20 m, diameter dapat mencapai 220 cm. Bentuk batang tidak teratur dan beralur. Warna kayu teras Jati coklat-muda, coklat-kelabu, sampai coklat-merah tua atau merah coklat. Kayu jati gubal berwarna putih atau kelabu kekuning-kuningan. Tektur kayu agak kasar dan tidak merata dengan arah serat lurus atau kadang-kadang agak berpadu. Permukaan kayu licin atau agak licin kadang-kadang berminyak. Lingkaran tumbuh atau disebut juga lingkaran tahun nampak jelas, baik pada bidang transversal maupun radial. Hal ini menimbulkan gambar yang indah, dan dapat juga untuk mengetahui umur pohon. Sifat-sifat Kayu Jati termasuk kelas awet II dan kelas kuat II mempunyai berat jenis 0,67 (0,62-0,75). Kekerasannya sedang dan mempunyai nilai penyusutan dalam arah radial dan tangensial berturut-turut 2,8% dan 5,25% (basah sampai kering tanur). Kayu jati mudah dikerjakan baik dengan mesin maupun dengan alat tangan. Jika alat-alat yang digunakan cukup tajam, dapat dikerjakan sampai halus, tetapi bidang transversal harus dikerjakan dengan hati-hati karena kayunya agak rapuh. Kayu jati dapat divernis atau dipelitur dengan baik, mempunyai daya menahan paku yang baik serta dapat direkat dengan sangat memuaskan. Jati tumbuh baik pada tanah sarang, terutama pada tanah yang mengandung kapur. Jenis pohon ini tumbuh didaerah misim kering yang nyata, tipe curah hujan rata-rata 1200-2000 mm/t, pada ketnggian 700 meter dari permukaan air laut. Permudaan alam (peremajaan) mudah tejadi dan dapat membentuk tegakan murni setelah mengalami kebakaran. Selain itu mudah tumbuh tunas tunggak, permudaan semacam ini jarang dilakukan karena akan menghasilkan kayu dengan kualitas rendah, karena itu pada tanaman jati umumnya berlaku sitem tebang habis dengan permudaan buatan. Permudaan buatan dilakukan langsung dengan biji yang ditanam pada permulaan musim hujan dengan jarak tanam 3x1m sampai 3x3m tergantung kondisi tanah/kelas kesuburan tanah. Produksi dan Industri ( Proses Produksi) Setelah kayu jati mencapai usia 60-80 tahun, jati siap dipanen. Hasil produksi jati berupa kayu log (kayu bulat jati). Hasil produksi kayu jati tersebut diolah di industri pengolahan kayu menjadi setengah jadi seperti sawmill, dan papan-papan yang siap untuk bahan baku mebel Perum Perhutani sebagai BUMN yang dipercaya pemerintah untuk mengelola hutan di pulau Jawa dan Madura, yang mempunyai tanaman jati seluas 1,2 juta ha adalah sumber bahan baku kayu jati meubel ukir Jepara. Kayu dari Perum Perhutani memiliki kualitas yang lebih baik di banding dengan kayu Jati yang berasal dari tanaman rakyat ( Jati Kampung). Jati kampung proses penebangannya tidak melalui proses penilaian kualitas umur kayu dan tahapan penebangan sebagaimana pada Jati dari Perum Perhutani.


ukir-patung-jepara mengatakan...
Di Jepara, Kayu Jati memiliki jenis yang mendapatkan pengaruh besar dari lingkungan geografis. Terutama jenis tanah yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap beragam jenis Kayu Jati Jepara. Jenis tanah di wilayah Kabupaten Jepara terdapat 5 jenis, yaitu : 1) Andosol Coklat, terdapat di perbukitan bagian utara dan puncak Gunung Muria seluas 3. 525.469Ha (3,15 persen); 2) Regusol, terdapat di bagian utara seluas 2.700,857 Ha (2,69 persen); 3) Alluvial, terdapat di sepanjang pantai utara seluas 9.126,433 Ha (9,09 persen); 4) Asosiasi Mediteranian, terdapat di pantai barat seluas 19.400,458 Ha (19,32 persen); 5) Latosol jenis tanah yang paling dominan di Kabupaten Jepara terdapat di perbukitan Gunung Muria seluas 65.659,972 Ha (65,39 persen). Semenjak era-reformasi banyak terjadi penjarahan Kayu Jati di Jepara, sehingga sedikit sekali Kayu Jati yang tersisa di Kabupaten Jepara. Kendatipun demikian, di Desa Bondo masih terdapat satu kawasan hutan Kayu Jati dengan ukuran 30-60 cm diameternya yang sudah berumur KU 4 (Kelas Umur 30-40 tahun). E. Peta dan Batas-Batas Indikasi Geografis Peta dan uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi-geografis sangat penting untuk melindungi dan menjaga kualitas dan karakteristik serta kejelasan produk/ barang. Indikasi Geografis di ajukan dengan batas-batas wilayah Kabupaten Jepara yang memiliki luas 100.413,189 ha (kurang lebih 1.004,13 km2) dan terletak pada posisi 3º 23 20’’ sampai 4º 9’ 35” Bujur Timur dan 5º 43’ 30” sampai 6º 47’ 44” Lintang Selatan, dengan batas – batas wilayah Kabupaten Jepara : sebelah utara Laut Jawa; sebelah timur Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati; sebelah selatan Kabupaten Demak; dan sebelah barat Laut Jawa.Peta inilah yang memungkinkan Indikasi geografis Meubel ukir Jepara bias di kembangkan. a) Jepara berada di Provinsi Jawa Tengah b) wilayah yang dicakup GI F. Sejarah dan Tradisi Uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasi-geografis untuk menandai mebel ukir Jepara yang dihasilkan di daerah tersebut, termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai Indikasi-geografis tersebut adalah sebagai berikut ; 1. Perkembangan Ukiran Gaya Jepara
ukir-patung-jepara mengatakan...
Budha. Akibatnya, dalam sistem masyarakat Jawa terdapat sistem perpaduan antara budaya Aninisme-Dinanisme, Hinduisme-Budhaisme dan unsur-unsur Islam sebagai aturan yang pokok. Bentuk sinkretisme ini tumbuh subur, ketika pusat dari kerajaan dipindahkan ke pedalaman yaitu Pajang kemudian berakhir di Mataram. Demak dalam perkembangannya setelah Sultan Trenggono wafat mengalami kemunduran sedangkan kota Jepara mengalami perkembangan yang pesat sebagai sebuah kota pelabuhan. Saat pemerintahan Ratu Kalinyamat yang bersuamikan Sunan Hadirin maka Jepara menjadi kota pelabuhan yang terkenal. Banyak kapal dibuat, sehingga dalam hal ini sistem pertukangan berkembang pesat. Banyak tenaga didatangkan dari Cina, karena Sultan Hadriin, suami Ratu Kalinyamat, dulunya adalah adalah orang Cina yang masuk agama Islam dan mantan komandan marinir (Gustami, 2000: 138). Dalam pemerintahannya Ratu Kalinyamat juga membuat Masjid Mantingan, yang dalam hal ini banyak terdapat hiasan ukiran–ukiran yang ditempelkan di dinding. Dalam mendesain ukiran ini tokoh yang terkenal dalam membantu pembuatan desain adalah orang tua angkat sunan Hadirin yaitu orang Tiongkok yang kemudian diangkat menjadi patih kerajaan, yaitu Patih Sungging Badar Duwung. Bentuk Masjid Mantingan tersebut juga sebagai manifestasi sikap akomodatif 004). Sayang sebelumnya masyarakat belum mengenalnya. Sehingga pada akhirnya ukiran Jepara kadangkala mengalami modifikasi sesuai pesanan orang Eropa sehingga dalam hal ini terjadi akulturasi budaya yang cukup kuat. Bahkan dalam perkembangannya terjadi dua buah perkembangan model jenis ukiran kayu, satu yang berbentuk ke arah gaya tradisional dan satu lagi mengalami perkembangan bentuk baru. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa adanya keterkaitan rangkaian perkembangan ukir dari masa Majapahit, Demak, Ratu Kalinyamat dan R.A Kartini terhadap agama Hindu Hindu Budha. Sedangkan hiasan ukiran juga mendapat pengaruh dari Islam karena adanya hewan atau makhluk hidup yang disamarkan serta adanya ukiran dari batu kapur yang bersifat geometris yang lebih dikenal dengan motif Arabes. Hiasan yang berbentuk medalion (bulatan) mendapat pengaruh dari Cina (Sunaryo, 2003: 8). Bersumber dari ini lah kemudian perkembangan ukir di wilayah Jepara menunjukan kemajuan pesat. Bentuk ukiran yang dibuat rakyat banyak meniru dari hiasan ornamen dalam masjid tersebut. (OK, kesesuaiannya perlu di cek tim ahli, seperti untuk sifat pembeda lainnya) 4. Perkembangan Masa Kartini Kerajinan ukir mengalami perkembangan lebih lanjut secara pesat setelah kemunculan RA Kartini yaitu putri keempat dari R.M.AA Sosroningrat Bupati Jepara yang memerintah sejak tahun 1880-1905. Pada masa RA Kartini yang mampu memberikan kontribusi yang luar biasa karena jaman dahulu ukiran itu hanya dibuat untuk kepentingan bangsawan sehingga rakyat biasa belum memiliki penghasilan atas ukiran tersebut. Atas dasar pemikiran Kartini kemudian, dia berharap agar ukiran bisa diproduksi secara massal dan semua rakyat bisa membuatnya. Akibatnya, perajin atau rakyat biasa mampu meningkatkan penghasilan keluarganya (Gustami, 2000: 205). Dari masa Kartini munculah aspek ekonomi, karena menyangkut aspek desain. Hal tersebut terlihat dari pemikiran-pemikiran Kartini dalam merencanakan dan memotivasi perajin ukirannya untuk dapat membuat barang-barang dengan hiasan ukiran yang dapat diperdagangkan dengan harga yang lebih baik dan pasaran yang lebih luas. Seiring datangnya penjajah kolonial maka bangsa Eropa di abad 16. pada awal kedatangannya mereka melengkapi perkantoran didatangkan dari Belanda, namun dirasa tidak efisien pada akhirnya l.) seperti meja, kursi, almari dibuat di Indonesia (Haryanto, Budha yaitu dengan masih mempertahankan bagunan gapura yang memiliki bentuk 2
5. Komparasi Pesisiran dan Pedalaman Awalnya seluruh wilayah Jawa mempunyai religi Aninisme dan Dinanisme yang dalam perkembangannya telah terjadi perpaduan dengan unsur-unsur Budha dan Hindu yang membentuk kebudayaan Hindu Jawa, yang berlangsung selama lebih dari 8 abad (dari abad 8-15). Di wilayah pesisir kebudayaan Hindu dan Budha tidak meresap secara kuat berbeda apa yang terjadi di lingkungan kaum priyayi di keraton. Hal tersebut Islam lebih mudah menyebar dan diterima secara baik. Selain itu juga didukung pesisir sebagai kota pelabuhan dan lemahnya pusat keraton terhadap daerah pesisir karena jaraknya yang relatif agak jauh. Setelah masa kerajaan Jawa Islam Demak berakhir, perkembangan seni ukir di wilayah pesisir dan daerah pedalaman lebih menampakan nuansa perbedaannya. Di wilayah pesisir atau Jepara proses akumulasi dari seni ukir yang terjadi dalam kurun waktu yang lama perwujudannya dilatarbelakangi oleh kuatnya peran agama dan budaya Islam yang telah membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakatnya. Perkembangan seni ukirnya juga didukung oleh kedudukan Jepara sebagai kota pelabuhan yang memberi peluang pada lebih berkembangnya komunikasi dengan bangsa-bangsa asing, sehingga terbuka peluang yang lebih besar untuk masuknya unsur-unsur dari budaya luar. Hal itu dipertegas pendapat Ismail (1990: 53), yang menyatakan bahwa ukiran Jepara sudah menunjukan suatu gaya ukiran yang khas sebagai wujud budaya masyarakat etnik Jawa di pesisir utara Jawa yang pola ukirannya tidak lepas dari falsafah yang dianut masyarakatnya. Masyarakat pesisir ini tumbuh menjadi karakter yang khas karena kondisi geografis dan latar belakang sejarahnya menjadikan masyarakat pesisir ini lebih bersifat terbuka, taat dan fanatik terhadap agamanya, namun alam fikiran Jawa tetap hidup dan melekat di masyarakatnya serta mempunyai tradisi lisan. Suseno (1993: 82) juga menyatakan bahwa


ukir-patung-jepara mengatakan...
alam pikiran Jawa adalah bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan dilihat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh sehingga segala wujud fisik suatu benda selain berfungsi nyata, juga mempunyai fungsi yang berkaitan dengan makna. Hal inilah yang menjadi kekuatan alam pikiran Jawa di dalam gerak adaptasi terhadap budaya luar yang mempengaruhinya. Seni ukir yang berkembang di pedalaman, dengan budaya tulisnya, setelah pusat kerajaan dipindahkan ke Pajang dan Mataram. Perkembangannya dilatarbelakangi oleh pola pikir yang hidup di lingkungan keraton, dimana unsur-unsur dari kebudayaan Hindu Jawa telah meresap secara jauh, serta unsur Aninisme dan Dinamisme masih tetap dipertahankan yang dipadukan dengan unsur Islam membentuk suatu budaya keraton yang kompleks. Dalam perwujudan seni ukiranya keadaan tersebut terlihat dari makna-makna simbolis motif-motif ukirannya, yang buktikan di lingkungan keraton. Atas dasar itu dapat dipahami bahwa nilai-nilai tradisi yang terkandung di dalam akar budaya masyarakat mengalami regenerasi secara turun-temurun. Sebagai kelompok masyarakat pesisir pantai utara Jawa, maka pola ukiran masyarakat Jawa telah banyak mengalami perkembangan yang diakibatkan oleh berbagai dinamika masyarakatnya. Dinamika masyarakat yang cenderung dipengaruhi oleh kelompok masyarakat dari luar, sebab daerah pantai sering menjadi daerah pertama yang mendapat sentuhan kelompok lain, yang pada waktu itu kedatangannya melalui pantai. Perkembangan ukir lebih lanjut menunjukkan bahwa wilayah pesisir juga ditandai oleh berperannya unsur-unsur budaya Islam, etnik Cina, dan juga unsur-unsur seni ukir Eropa. Secara politis wilayah pesisir berada di bawah kekuasan raja, tetapi karena letak pusat kekuasaan (keraton) jauh di pedalaman, maka perkembangan gaya ukiran di wilayah pesisir ini tidak sepenuhnya mengacu atau menyelaras dengan gaya ukiran Jawa di lingkungan keraton. Hal tersebut merupakan salah satu sebab adanya perbedaan gaya ukiran pesisir (Jepara) dengan gaya ukiran yang berkembang di keraton walaupun pada awal perkembanggnya bersumber dari generasi perajin yang sama yaitu dari masa Hindu


ukir-patung-jepara mengatakan...
Jawa. 6. Makna Ukiran Jepara secara Filosofis Secara makna, ukiran Jepara adalah bersifat penyesuaian (akomodatif) untuk menjaga keterpaduan, keseimbangan dan keselarasan di dalam lingkungan hidup masyarakat. Hal itu penting karena masyarakat Jawa menyukai keselarasan dalam kehidupan. Ukiran juga berfungsi sebagai manifestasi dari sebuah sikap yang menunjukan kepribadiannya sehingga ukiran di daerah pesisiran sifatnya lebih terbuka. Seperti diketahui bahwa orang Jawa yang religius dan mistis selalu mengkaitkan berbagai hal kehidupan dengan Tuhan yang bersifat rokhaniah, menghormati roh nenek moyang, leluhurnya, serta kepercayaaan yang tidak tampak dalam orang Jawa, maka menggambarkan simbol-simbol. Islam adalah agama yang struktural, memiliki ajaran-ajaran yang harus ditaati oleh pemeluknya (ditentukan oleh aturan-aturan Tuhan) yang mengatur secara pasti kehidupan manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Maka Islam mempunyai pola komposisi yang simetris, bentuk motif-motif dan penempatannya yang terukur (geometris) dan arah gerak garis ukiran yang pasti, mencerminkan adanya suatu keteraturan, kepastian yang sejalan dengan landasan pola berfikir yang tumbuh di dalam masyarakatnya (Syarif, 2003: 34). Perkembangan yang demikian mempunyai pengaruh yang kuat terhadap gaya ukiran Jepara. Syarif (2003: 34) juga menambahkan bahwa cahaya merupakan simbol kehadiran Tuhan. Identifikasi cahaya dengan prinsip spritual yang sekaligus membentuk, mengatur, dan membebaskan ini merupakan faktor yang menentukan karya seni Islam. Maka akan menjadi logis, apabila ukiran-ukiran di Jepara sebagai sentra daerah Islam garis benangan-benangan dalam daun seperti berbentuk memancarkan garis cahaya yang menyebar ke segala arah. Berbeda dengan gaya ukiran Bali, ajaran Hindu menjadi dasar yang mendukung perkembangan seni ukirnya, yang juga meneruskan tradisi Hindu Jawa. Pengolahan bentuk atau komposisinya tidak memulai dari bentuk geometris, tetapi melihat dan menggambarkan keadaan kehidupan nyata, sehingga gaya ukirannya naturalistis serta komposisinya tidak simetris. 7. Bukti Artefak Proses Akulturasi Budaya a. Perkembangan gaya ukiran Jepara berlanjut terus, karena pada masa kini Jepara telah menjadi pusat kegiatan mengukir yang besar sehingga tidak tertutup kemungkinan pada adanya perkembangan baru yang mempengaruhi gaya ukirannya


ukir-patung-jepara mengatakan...
b. Gaya ukiran Jepara di dalam perkembangan dan pembentukannya didukung Hindu Jawa dengan kebudayaan pesantren (Islam) dimana tradisi mengukir masa Hindu Jawa (pra Islam) memegang peranan yang penting 1) Perkembangan seni ukir Jepara pada masa Jawa Islam. Motif-motif ukiran masa Hindu Jawa (pra Islam ) masih terus digunakan (tidak dibuang) 2) Motif makara, binatang dari ceritera dongeng (Hindu Jawa ) yang terdapat pada candi Sewu, juga ular bermahkota naga sebagai perhiasan Yoni dibuat dari batu (Hindu Jawa) dan motif serupa juga tampak pintu Bledek 3) Motif candi pintu gerbang yang terdapat pada Masjid Mantingan . Motif kera pada ukiran di masjid Mantingan dengan relief wayang pada Candi Panataran (gambar 5a dan gambar 4) 4) Motif pada botekan, (masa Kartini) dengan motif swastika Ukiran di atas kosen lama Masjid Raya Jepara (masa Kartini) dan motif jambangan pada relief candi Loro Jonggrang (Hindu Jawa) 5) Motif ukiran Naga pada pintu Bledek (masa Jawa Islam) dengan motif naga dari seni Cina, selain juga dengan motif ular dari masa Hindu Jawa. c. Perkembangan dan pembentukan gaya ukiran Jepara masa kolonial selain meneruskan tradisi mengukir masa Hindu Jawa , juga dipengaruhi oleh tradisi dari seni ukir barat, 1) Motif gunungan pada ukiran di Masjid Mantingan (Islam) juga memperlihatkan kecenderungan adanya pengaruh dari seni Cina (gambar 2) 2) Motif burung pada daun meja tempat jahitan (Kartini) memperlihatkan kecenderungan adanya pengaruh dari Cina (gambar 9) 3) Motif tumbuhan kecil-kecil yang terdapat pada ukiran masjid Mantingan (masa Islam) memperlihatkan kecenderungan adanya pengaruh seni Cina 6) Ukiran di atas pintu lama Majid Raya Jepara memperlihatkan pengaruh dari seni ukir Barat (gambar 10) 7) Pengaruh tersebut terlihat pada permukaan ukiran yang lebih tiga dimensional, dibandingkan dengan gaya ukiran Jepara masa sebelumnya yang lebih papar permukaannya (gambar 11) 8) Ukiran di atas kosen pintu rumah tinggal Jepara memperlihatkan stilasi dari motif daun dan burung gaya Jepara tetapi permukaan ukiran lebih tiga dimensional (gambar 10) 9) Gambar 16 memperlihatkan motif yang digambarkan dengan stilasi bentuk dan penggambaran secara naturalistis serta perbedaaan dalam motif daunnya. Penggambaran motif ukiran bunga kecubung (bagian dari ukiran sandaran kursi ) memperlihatkan pengukiran raut bentuk secara naturalis yang dipengaruhi pola gaya ukiran dari Barat. Pada masa kini juga terlihat ukiran dalam bentuk yang naturalis pada motif daun dan buah anggur, yang diterapkan pada ukiran lemari.


ukir-patung-jepara mengatakan...
8. Tradisi Pewarisan Keahlian Tradisi pewarisan keahlian merupakan suatu hal yang terpelihara dan menjadikannya pembeda bagi komunitas pengrajin ukir Jepara dengan kalangan profesi yang lain. Masyarakat Jepara dapat menjadi salah satu model terpeliharaya semangat etos, dan disiplin kerja yang cukup tinggi dijiwai oleh mendalamnya pemahaman nilai-nilai religius. Dengan cara seperti ini, mereka dapat mencapai hasil maksimal dan mendapatkan imbalan yang memuaskan melalui bidang profesinya. Untuk mempertahankan kehidupan dan profesinya, meski dalam keadaan wawasan yang kurang luas di kalangan pengusaha yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan mereka untuk mengikuti jenjang pendidikan tinggi formal. Kondisi demikian itu menyadarkan arti pentingnya belajar dan berlatih bekerja sejak kecil. Mereka masyarakat Jepara belajar, berlatih, dan bekerja atas keinginan dan cita-cita murni dan tidak perlu dipaksakan oleh orang tua. Dengan kesadaran ini, anak-anak belajar dan bekerja dengan pengrajin senior. Cara yang dilkukan dengan ’nyantrik”. Hal yang cukup menarik adalah proses pendidikan nonformal ini melalui senior di sebut ngenek dan nyantrik. Selama ngenek umumnya mereka sudah mendapatkn imbalan jasa sekadarnya. Imbalan itu sebagai perangsang sang anak agar mau belajar dan berlatih lebih rajin lagi. Dengan demikian keahlian mengukir yang diinginkan segera dapat dikuasai oleh sang anak. Cara-cara belajar dan berlatih melalui ngenek dan nyentrik ini seperti sudah berlangsung secara turun temurun. Dalam perkataan lain, perajin senior mewariskan kemampuan mereka kepada pengrajin junior, sebaliknya pengrajin junior berusaha untuk mewarisi kemampuan yang dimiliki dari pengrajin seniornya yang berlanngsung terus-menerus dari generasi ke generasi berikutnya. Itulah model atau sistem pewarisan kemampuan yang dilakukan oleh masyarakat kalangan pengrajin Jepara.


ukir-patung-jepara mengatakan...
9. Tradisi Emansipasi Wanita (Sama dengan atas, supaya dilengkapi) Emansipasi wanita terlihat dari proses pengerjaan produk mebel ukir Jepara yang masih banyak melibatkan tenaga dari kaum perempuan. Mereka perajin (wanita) lebih banyak berbagi tugas dalam mengerjakan sebuah produk mebel ukir. Perempuan masih dilibatkan secara langsung dalam pengerjaan produk mebel ukir. Para kaum perempuan ini kebanyakkan mengambil peranan mengamplas/ menghaluskan hasil pahatan ukir sebuah produk mebel ukir Jepara. Sebagian mereka kaum perempuan ini juga mampu menatah (menyelesaikan?) sebuah bidang kerjaan mebel ukir Jepara. Tradisi emansipasi yang menunjukkan penekanan pada kesetaraan ini sudah dapat dilihat dari kemunculan banyak tokoh perempuan di Jepara dari masa ke masa yang memberikan pengaruh pada sejarah perkembangan mebel ukir Jepara. Tokoh perempuan tersebut adalah Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan RA Kartini. Kegiatan pertukangan telah dikenal oleh penduduk Jepara sudah lama, sejak dari zaman pemerintahan ratu Shima yang merintis jalan bagi tumbuhnya kota pelabuhan sehingga memungkinkan adanya kegiatan pertukangan dan perundagian. Pada abad ke-7 Jepara diperintah oleh ratu yang arif, bijaksana, keras, dan tegas dalam menegakkan disiplin serta penuh tangggung jawab dalam mengendalikan roda pemerintahan. Ia bertahta dikerajaan Kalingga , bergelar Ratu Shima. Sebagian besar wilayah kerajaan berupa


ukir-patung-jepara mengatakan...
tanah datar, sebagian lanilla berupa lereng gunung dan perbukitan yang tumbuh hutan belukar. Pada waktu itu, kerajaan Kalingga memiliki pelabuhan, sebagai tranportasi laut dari dan ke pulau Jawa. Di pusat kerajaan dibangun istana raja. Kerajaan itu dilindungi benteng kayu yang kuat, demikian pula rumah penduduk. Itu berarti bahwa bakat atau pengalaman tentang pertukangan dan perundagian telah dikenal oleh masyarakat Jepara yang ditandai dengan pembuatan benteng kayu dan rumah-rumah warga yang terbuat dari kayu. Meskipun benteng atau pagar yang terbuat dari kayu tersebut sebenarnya berfungsi untuk melindungi kerajaan dari serangan musuh, dan untuk mengatasi gangguan binatang buas yang mengusik ketenangan hidup seluruh warga kerajaan. Selain ratu Shima, pada masa pemerintahan Demak, pada abad ke-16 di Jepara hadir tokoh putri lainnya yaitu ratu Kalinyamat yang berhasil mengantarkan Jepara menjadi ibu kota pelabuhan terpenting di pesisir utara tanah Jawa. Tokoh wanita ini berhasil mengembangkan kegiatan pertukangan dan perundagian menjadi maju, terutama dalam hubungannya dengan pembangunan rumah para saudagar dan kaum bangsawan, rumah peribadatan, galangan kapal, serta pembuatan peranotan rumah tangga yang lain. Sejarah seni kerajinan meubel ukir disinyalir berwal pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat ini. Hal ini dapat saksikan (ditunjukkan) melalui sejarah masjid dan makam Mantingan. Di mantingan inilah dimakamkan Sunan Hadirin suami Ratu Kalinyamat. Ratur Kalinyamat membangun masjid dan makam mantingan sebagai ungkapan rasa hormat kepada suaminya. Masjid dan kama mantingan dibangun atas dan kama mantingan dibangun atas pertimbangan artistik hasil ramuan yang mencerminkan unsur-unsur pengaruh gaya seni Hindu, Islam, dan beberapa hal yang mencerminkan gaya seni Cina. Masjid dan Makam mantingan itu menyampaikan serangkaian fakta historis dan seni, bahwa terdapat penjelasan yang menunjukkan seni ukir pada masjid mantingan.


ukir-patung-jepara mengatakan...
Di antara penjelasan ada disebutkan bahwa pembuatan masjid dan makam mantingan itu dilaksanakan oleh masyarakat setempat, meskipun desain seni ukirnya mendapatkan petinjuk dan bimbingan ahli seni dari Cina. Pada dinding masjid mantingan itu terdapat ornamen berbentuk binatang yang telah termodifikasi dalam stilisasi bentuk kaligrafi arab, diseling dengan sulur-sulur dedaunan dan bunga-bunga sehingga perwujudannya sudah tidak memperlihatkan gambaran mahluk hidup lagi. Dalam bidang seni ornamen cara penciptaan ornamen seperti disebt stilasi. Dari makam dan masjid mantingan suah barang tentu bisa dirasakan bahwa seni ukir atau seni pahat telah dikenal oleh masyarakat Jepara. Ornamen yang dipahat di dinding makam dan masjid mantingan merupakan salah satu bukti sejarah bahwa pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, masyarakat Jepara telah di suguhi seni ukir selain kemampuan masyarakat dalam hal petukangan dan perundagian. Kemampuan dan ketarmpilan masyarakat Jepara dalam bidang seni kerajinan meubel ukir justru secara lebih rijit dalam konteks kesejarahan dibahas oleh Hartojo dan Amen Budiman (1982). Hartojo dan Amen Budiman (1982) mengkonstatasikan bahwa Patih Sungging Badar Duwung seorang Cina menjadi Patih pada pemerintahan Ratu Kalinyamat ini, selain lihai dalam bidang kepemimpinan dan pemerintahan, sang patih juga pandai mengukir. Keahlian mengukir merupakan bakat yang dibawanya dari Tiongkok. Ditengah-tengah kesibukkanya sebagai mangkubumi kerajaan Jepara dengan julukan Sinuhun Kalinyamat ini masih sering mengukir di atas batu yang khusus di datangkan dari negeri leluhurnya. Bahkan ia mengajarkan keahlian yang dimilikinya pada penduduk di daerahnya. Pada perkembangan selanjutnya, oleh karena batu yang dijumpai di Jepara tidak cocok diukir, sedangkan batu-batu yang didatangkan dari tiongkok juga jumlahnya cukup terbatas, maka penduduk Jepara mempraktekkan pelajaran mengukirnya di atas kayu. Konon, dari sinilah lambat laun telah tumbuh seni ukir kayu di kalangan masyarakat Jepara. Keahlian masyarakat


ukir-patung-jepara mengatakan...
Jepara dalam mengukir tidak hanya berkembang menjadi sebuah ketrampilan yang dapat di banggakan saja, akan tetapi keahlian ini kemudian menjadi sebuah tradisi dan ketrampilan yang turun temurun dari zaman yang disebutkan awal masyarakat belajar mengukir pada zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat tersebut. Perkembangan seni kerajinan meubel ukir Jepara pada zaman abad ke- 19 sampai abad ke-20 mengalami pertumbuhan yang menggembirakan berkat usaha-usaha yang dilakukan oleh R. A Kartini. Melalui pameran-pameran yang digelar disertai publikasi tertulis media massa, R. A Kartini berhasil mempopulerkan aktivitas pembuatan meubel ukir di kalangan masyarakat internasional, Khususnya masyarakat Eropa Barat. Usaha-usaha RA Kartini pada akhirnya mampu mengubah persepsi masyarakat Eropa Barat terhadap kesenian Indonesia. Dampak positifnya, banyak masyarakat Eropa Barat yang kemudian memesan produk-produk atau barang-barang hasil kerajinan ukir masyarakat Jepara. Sehingga hingga kini berbagai jenis kerajinan ukir mulai bermunculan dan tumbuh kembang. Karena pada perkembangannya Jepara terkenal sebagai kota penghasil meubel ukir termasyur di nusantara ini, kemudian munculah banyak kreasi-kreasi baru atau adopsi kreasi tardisional seperti sekarang ini. (agar huruf besar kecil dikonsistenkan, penjelasan tekankan pada peran dan karakter perempuan sehubungan dengan R.A Kartini) G. Proses Produksi Uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, proses pengolahan, dan proses pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan setiap produsen di daerah tersebut untuk memproduksi, mengolah, atau membuat mebel ukir Jepara memiliki beberapa tahapan. Cara umum untuk menghasilkan produk kesenian ukir meubel Jepara oleh berbagai literatur dijelaskan. Setidak-tidaknya dapat di peroleh gambaran singkat dalam membuat seni meubel ukir yang terdiri dari tiga tahap. 1. Tahapan Persiapan (benahin jenis bahan baku apa yang akan ddipakai) Tahap pertama, merupakan langkah persiapan untuk membuat barang kerajinan ukir dilakukan dengan cara menyediakan : 1) bahan baku yaitu kayu. Kayu yang biasanya


ukir-patung-jepara mengatakan...
dipakai dan disukai oleh masyarakat untuk seni ukir kayu dapat di pilih dari jenis kayu yang keras, sedang, dan lunak. Jenis kayu yang tergolog keras seperti : kayu hitam (eben, kayu sonokeling, kayu bedaru, kayu balau, kayu giam, kayu pilang. (bukannya kayu jati, diatas yang dijelaskan cuma keunggulan kayu jati. Apakah semua kayu tersebut diatas akan dipakai ?Sebutkan asalnya.) Sedangkan kayu yang terasuk kekerasan sedang seperti : kayu jati, kayu mahoni, kayu lasi, kayu sungkai, kayu salimuli, kayu cendana, kayu rengas (sama dengan atas komentar dari Tim Ahli IG). Terakhir merupakan jenis kayu yang dalam kategori kayu lunak adalah kayu akasia, kayu jelutung, kayu durian, kayu gayur, kayu perupuk, dan kayu pulai. (sama dengan atas komentar dari Tim Ahli IG). Kayu tersebut kemudian disiapkan dalam suatu ukuran tertentu (rinci ukurannya, dan harus sesuai dengan yang diterapkan dilapangan, pada ukiran) yang sebelumnya di siapkan juga gambar rencana termasuk desain seni kerajinan ukir meubel Jepara (sebutan supaya konsisten) pada kertas gambar tipis dengan spidol atau alat tulis lainnya. Gambar tersebut berbetuk desain dan gambar hiasan ukir, khusus untuk gambar hiasan ukir ini dapat langsung ditempel atau digambar pada permukaan kayu yang akan dikerjakan. Di sisi lain sebelum dilakukan pengerjaan mengukir, terlebih dahulu biasanya (apa sudah ditentukan seragam tahapannya?) kayu di haluskan dengan cara diketam. Biasanya untuk barang kerajinan berupa almari, kursi, atau meja biasanya ada proses yang dinamakan peakitan. Perakitan ini adalah proses pembentukkan atau penyusunan bahan baku, kayu-kayu yang dibelah sesuai dengan ukuran tertentu untuk dibentuk menjadi dasaran meubel yang berbentuk almari untuk almari ukir, atau kursi untuk kursi ukir dan seterusnya dan seterusnya. 2) satu unit peralatan ukir kayu, peralatan seperti pahat ukir, palu dari kayu, batu asah, sikat ijuk, pensil, jangka, meteran, kain perca dan sebagainya. 3) Bahan-bahan pelengkap lain seperti : kertas gambar untuk membuat gambar kerja; kertas tipis untuk memindahkan gambar ukiran dengan cara sablon, menapak, atau mengutip; pensil dan spidol untuk memindahkan gambar dan memperjelaskan gambar hasil kutipan; 4) alat-alat bantu antara lain : ketam untuk menghaluskan permukaan kayu, gergaji potong dan gergaji belah, siku-siku untuk membuat siku pada sudut kayu, pesudut untuk membuat guratan sejajar dengan tepi pada permukaan kayu (membuat tebal kayu yang sama), bor


ukir-patung-jepara mengatakan...
dan pemutarnya untuk membuat lubang . (sebutkan juga asal bahan pendukung dan alat-alat produksi, bila ada kualitas alat yang spesifik lebih baik dijelaskan, bila ada alat yang pengoperasiannya rumit perlu disertai dengan instruksi kerja alat yang mudah diperoleh, dibaca dan dimengerti pekerja. Semua alat-alat tersebut disimpan dengan rapih dimana, kalimat ini perlu ditambahkan sebagai bagian dari proses produksi mebel ukir jepara) 2. Tahap Pelaksanaan Tahap kedua adalah pelaksanaan, yakni proses pemahatan. Secara umum proses pemahatan dapat di jabarkan sebagai berikut : a. Memahat gambar halus dipahat siku-siku dengan permukaan, dengan begitu garis gambar dipindahkan pada permukaan kayu. b. Membuat Dasar (nadasri Jawa) Pada pekerjaan ini kita membuat alas atau dasar ukiran yang rata pada sela-sela batas gambar ukiran. c. membentuk kasar (Mbukaki Jawa) menghaluskan dan membentuk ukiran yang luwes Matut Jawa). Kita membuat sesuai dengan ciri khas bentuk motif. d. Menghaluskan dasaran (nglemahi Jawa) Haluskan dasar ukiran sampai halus dan rata benar. e. Membuat pecahan garis, pecahan cawen (cawenan Jawa) dan benangan (mbenangi Jawa) Agar ukiran tampak hidup, maka diberi isisan (isen-isen Jawa) berupa pecahan garis, pecahan cawen, dan benangan garis. Pecahan garis ialah: pahatan yang menyobek batas ukiran. Benang garis ialah: pahatan berbentuk garis yang terdapat dimuka ukiran daun, dimulai dari pangkal dan berakhir di ujung ikal. f. pemeriksaan (mbabari Jawa) setelah selesai mengukir kita kemudian kita memeriksas pekerjaan kita mulai dari pangkal sampai ujung ukiran daun dengan teliti. Apabila masih ada yang kurang


ukir-patung-jepara mengatakan...
bagus, maka perbaiki segera, kemudian bersihkan dengan sikat ijuk sampai bersih dari kotoran bekas pahatan. Simpan ditempat yang aman 3. Tahap Pewarnaan Selanjutnya, tahap terahir adalah, tahap penyelesaian akhir (Finishing) ukiran kayu. Setelah pekerjaan mengukir kayu selesai seluruhnya, periksa dengan teliti. Apabila masih ada yang kurang bagus (yang kurang bagus itu yang bagaimana, siapa yang melakukan pemeriksaan, apa semua pekerja mampu untuk itu, siapa saja yang diberi kemampuan menilai, adakah bukti diberikan kewenangan ini, jelaskan dengan singkat dan padat disini). perbaiki segera, dan bersihkan lagi dengan sikat ijuk sampai bersih. Lalu kerjakan finishing agar: a. Barang tersebut menjadi indah, menarik, dan mengagumkan. b. Permukaan pori-pori tertutup sehingga barang itu awet dan tahan terhadap pengaruh udara, cuaca, dan hama. Finishing ukiran kayu dapat dikerjakan dengan : gosokan, teak oil, semir sepatu, dan politur, vernis, sungging teknik pewarnaan. Untuk finishing dengan gosokan (sangkling jawa) memiliki bahan dan alat yang diperlukan seperti : kertas gosok, lilin, daun pisang yang kering atau daun salam, sikat ijuk. Cara mengerjakannya dapat dilakukan dengan : 1) gosok ukiran dengan kertas gosok sampai halus dan sikat sampai bersih; 2) selanjutnya gosok dengan daun pisang kering atau dengan daun salam sampai mengkilap. Baik juga dibantu dengan lilin sedikit. Sementara itu, untuk finishing dengan semir sepatu, bahan dan alat yang diperlukan seperti :1) semir sepatu berwarna cokelat atau netral (putih); 2) bensin; 3) kertas gosok nomer 0 atau nomor 1; 4) kaleng bekas yang bersih; 5) kuas berukuran 1 atau 1 ½ dim (menurut kebutuhan); 6) sikat ijuk dan sikat sepatu dan 7) kain perca dri kaos untuk menggosok (OK). Cara mengerjakannya dapat ditmpuh dengan cara : 1)gosok ukiran sampai halus dan sikat dengan sikat ijuk sampai bersih; 2) cairkan semir sepatu dengan bensin dalam kaleng bersih, kemudian kuaskanlah pada permukaan ukiran sampai merasa hingga pada celah-celah ukiran; 3) setelah kering, sikat dengan sikat sepatu sampai mengkilat. Bila perlu gosok dengan kain perca kaos seperti halnya menyemir sepatu.


ukir-patung-jepara mengatakan...
Sedangkan finishing dengan vernis, dapat digunakan bahan-bahan : Vernis, Kertas gosok nomor 0 sampai nomor 2 ½, kuas, ukuran menurut kebutuhan, Sikat ijuk, Sprayer (alat penyedot). Cara mengerjakannya yakni dengan gosok ukiran kayu sampai halus kemudian sikat sampai bersih dan kemudian dikuas semprot dengan vernis sampai merata. Selanjutnya, finishing dengan teak oil, bagi yang senang dengan permukaan yang tidak mengkilap, pada finishing dapat digunakan teak oil. Bahan yang dipakai : teak oil, menggunakan alat-alat seperti kuas, sikat ijuk, dan kertas gosok. Caranya sama seperti finishing dengan vernis. Kemudian, finishing dengan politur, menggunakan bahan-bahan untuk membuat politur : spiritus bakar, kaleng-kaleng kosong yang bersih, kuas, ukuran menurut kebutuhan, sikat ijuk. Cara membuat politur : Hancurkan serlak terlebih dahulu, kemudiancampur dengan spiritus dalam botol, dengan perbandingan 1 liter : 0,8 ons. Setelah itu kocok supaya tercampur. Jemur campuran itu, lalu simpan selama 1 sampai 3 hari. Bahan-bahan untuk membuat dempul kayu dalam pekerjaan politur : Lilin atau malam Tepung kapur putih dan oker kuning untuk menyamakan dengan warna kayu. Cara membuat dempul antara lain : masak lilin atau malam dan tepung kapur serta okerkuning dalam kaleng bersih; bila perlu beri zat warna untuk menyamakan warna politur dengan warna kayu. Cara memolitur : 1. Gosok ukiran kayu dengan kertas gosok sampai halus, kemudian sikat sampai bersih 2. Setelah itu gosok permukaan dengan batu apung. a. Permukaan yang tidak berukir: oleskan tepung putih yang sudah dicampur, kemudian gosok dengan batu apung. Cara menggosoknya searah. b. Yang berukir cukup diberi cairan tepung putih sampai merata 3. Bila telah kering gosok dengan kerts kertas gosok sampai halus dan sikat sampai bersih, kemudian sapukan politur dengan kuas. Penyapuan pertama ini disebut dasaran politur 4. Setelah kering gosok dengan kertas gosok bekas 5. Lalu kuas lagi dan sesudahnya gosok dengan kertas gosok bekas. Akhirnya lakukan penguasan lagi. 6. untuk menghasilkan politur yang mengkilap dan bagus, pada penyapuan politur yang kedua atau ketiga, gosok lagi dengan kertas duko dengan air yang jerni.
7. setelah permukaan kering, sapu politur lagi dengan menggunakan pop dari kain perca kaos 8. Demikian selanjutnya hingga didapaykan hasil politur yang sebaik-baiknya. Pada pekerjaan politur ini diperlukan sinar matahari yang cukup (teduh?). Apabila sinar matahari terlalu panas, sebaiknya cari tempat yang teduh supaya politur tidak pecah-pecah atu berbintik-bintik. Untuk metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang –seni kerajinan meubel ukir Jepara (nama dikonsistenkan dengan sebelumnya) yang dihasilkan biasanya terdiri dari dua metode, yakni rasa (mebel rasanya apa?) dan kekuatan/ ketahanan. Barang terbaik adalah barang yang memiliki nilai cita rasa yang tinggi, bertabur keindahan dari sudut seni yang estetis di satu sisi, dan sisi yang lain kekuatan/ ketahanan barang atau kerajinan ukir merupakan syarat sah barang tersebut dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama dan tidak mudah rusak. Disamping itu, kualitas yang diinginkan dalam praktek perindustrian, ada yang disebut “penyesuaian harga”. Harga yang tinggi akan mendapatkan kualitas barang dan kerajinan ukir yang tinggi dengan bahan baku yang bagus –biasanya kayu jati hara nomor satu, yang diikuti oleh kelas dibawah bahan baku tersebut seperti kayu nomor dua sampai kayu kelas bawah seperti kayu bakar dan atau kayu limbah. (kalimat ini apa perlu ditulis? Kelihatannya bukan bagian dari metoda pengujian kualitas mebel). (di bagian ini tuliskan cara menilai bahwa produk mebel yang dihasilkan sudah ok kualitasnya, sehingga dikelompokkan ke kualitas I atau II, siapa yang menilai, apakah yang menilai itu kompeten di bidang penilaian, apa bukti otentiknya yang dapat ditunjukkan kepada tim pemeriksa, kalau tidak ada dibuat bukti tertulis misalnya penugasan dari pimpinan atau sertifikat pelatihannya) H. Metode Pengendalian Mutu dan Kualitas Dua metode umum yang dipakai untuk menilai kualitas barang seni kerajinan meubel ukir Jepara. Pertama, adalah melihat ”ketahanan” barang. Barang seni kerajinan meubel ukir lebih berkualitas manakala memiliki ketahanan yang cukup tinggi. Barang seni kerajinan meubel ukir yang memiliki ketahanan yang cukup tinggi sekurang-kurangnya dapat dilihat dari bahan baku yang di pakai. Apabila bahan baku kayu jati hara kayu jati yang memiliki kualitas baik yang di pakai untuk kerajinan meubel ukir Jepara, maka dapat dihasilkan barang
yang kualitasnya baik dengan memiliki daya tahan yang cukup baik tidak mudah patah dan tidak mudah rusak (bagaimana mengujinya, apakah ke laboratorium misalnya di kehutanan?, atau visual saja dengan keahlian profesional seseorang/pekerja?, jelaskan bagaimana dan masukan tersebut diatas). Berbeda dengan bahan baku kayu kelas rendah seperti kayu bakar atau kayu limbah yang biasanya di pakai untuk menghasilkan barang kerajinan meubel dengan mutu yang kurang baik. Kedua, untuk menilai barang hasil kerajinan mebel ukir Jepara di perlukan analisa ”rasa”. Rasa ini yang menentukan kualitas barang hasil kerajinan mebel ukir dengan ornamen hias yang terlihat hidup. Dengan kata lain, ornamen hias yang terlihat hidup inilah yang menjadikan kualitas mebel ukir Jepara memiliki karakteristik tersendiri. Para pengrajin Jepara terkenal memiliki talenta memahat mebel ukir dengan motif yang terlihat ”hidup”. Pahatan ukir yang halus dan memiliki nilai cita rasa seni yang tinggi, itulah yang menjadi ciri ukiran pahat kayu pengrajin Jepara. Di samping bentuk kehalusan dan estetisnya ukiran para pengrajin Jepara, pewarnaan juga menjadi poin yang perlu diperhatikan dalam menilai kualitas barang hasil kerajinan ukir kayu yang bersangkutan. Pewarnaan inilah yang bertujuan untuk : menjadikan barang menjadi indah, menarik dan mengagumkan; menutup pori-pori permukaan barang hasil kerajinan ukir kayu, supaya kuat dan tahan terhadap cuaca, udara dan hama, sehingga barang menjadi awet. Barang hasil kerajinan ukir di samping dilihat dari bentuk dan kualitas pekerjaannya, perlu diperhatikan juga pewarnaannya (finishing). Pewarnaannya (finishing) merupakan suatu penyelesaian akhir yang harus dikerjakan secara cermat, teliti, dan hati-hati sekali, agar tidak kehilangan seni ukirnya. Di samping itu perlu di pilih juga bahan finishing yang memiliki kualitas tinggi, karena finishing inilah seolah-olah menentukan baik-buruknya barang tersebut. Selanjutnya, secara teknis operasional, pengendalian dan pengujian mutu/ kualitas produk mebel ukir Jepara pada pelaksanaan akan di awasi dan monitoring oleh tiga elemen : 1. Pengendalian dan monitoring Pemerintah Daerah; (siapa, jelaskan, buktikan) Pengendalian dan monitoring yang dilakukan sebuah tim yang berasal dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau aparat pemerintahan daerah yang bertugas mengawasi dan mengendalikan penggunaan label indikasi georafis pada sebuah produk mebel ukir Jepara dengan kualitas baik.


ukir-patung-jepara mengatakan...
2. Pengendalian dan monitoring paguyuban/ kelompok yang ditunjuk oleh pemerintah daerah. Paguyuban / kelompok ini merupakan sekelompok orag atau badan hukum yang di tunjuk pemerintah daerah untuk mengumpulkan data-data/ informasi-informasi tentang penggunaan indikasi geografis suatu produk mebel ukir Jepara.DIAMBIL DARI TULISAN  SAHLI RAIS Dalam perlidungan IG dan Kholis Roisah KLINIK HKI FH UNDIP Semarang

29 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  12. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  13. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  14. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  15. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  16. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  17. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  18. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  19. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  20. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  21. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  22. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  23. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  24. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  25. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  26. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  27. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  28. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  29. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus